MILAN – "Sejujurnya, saya sudah menghadapi banyak lawan dan melihat banyak pemain seumur hidup saya, tapi menurut saya Hector Scarone adalah yang terbaik."
Sungguh pujian yang tinggi. Pujian ini justru datang dari Giuseppe Meazza, pencetak gol terbanyak sepanjang masa untuk Inter dan salah satu talenta terbaik yang pernah ada di Italia. Meazza dan Scarone bermain bersama di Inter pada musim 1931/32 dan – meskipun hubungan kerja mereka hanya bertahan satu tahun – dampak pemain Uruguay tersebut pada Meazza jelas sangat berbekas.
Scarone, yang dijuluki Gardel Sepak Bola (merujuk pada legenda tango Carlos Gardel), tiba di Milan bersama permain Argentina, Atilio Demaria, di bulan Agustus 1931. Lahir di Montevideo, Uruguay, dari keluarga yang berasal dari Liguria tahun 1898, dia mengikuti jejak kakaknya Carlos – seorang striker di tahun 1910-an dan 1920-an – dan menjalani debut bersama Nacional tahun 1916.
Meskipun sempat bermain untuk Montevideo Wanderers, Nacional adalah satu-satunya tim yang dibela Scarone di tanah airnya, walaupun waktu kecil dia mendukung tim yang saat itu dikenal sebagai Central Uruguay Railway Cricket Club dan sekarang dikenal dengan nama Peñarol. Bersama Nacional, Scarone meraih delapan gelar di Uruguay antara tahun 1916 dan 1934.
Bakat luar biasa dan banyaknya gol yang diciptakan Scarone untuk tim Nacional mendorong fans untuk memberi julukan sendiri kepada sang penyerang: si Penyihir. Setelah dipanggil ke tim nasional untuk pertama kali pada usia baru 19 tahun, Scarone kemudian mencetak 31 gol untuk negaranya dan membawa Uruguay memenangkan empat gelar Copa America, dua medali emas Olimpiade (1924 dan 1928), dan Piala Dunia 1930, sekaligus menunjukkan kepada dunia satu gaya permainan sepak bola yang belum pernah dilihat orang sebelumnya. Baru 80 tahun kemudian Diego Forlan – yang juga mantan striker Inter – mampu menyamai catatan gol Scarone untuk Uruguay.
Scarone memiliki teknik yang mengagumkan, kemampuan untuk membaca permainan, kemampuan udara yang memukau, tembakan yang akurat yang – menurut legenda – diasahnya waktu kecil dengan menendang bola ke topi yang digantungkan di kusen pintu. Selain produktivitas gol dan keluwesan taktisnya, semua kelebihan ini memastikan nama Scarone ada di daftar teratas semua klub besar di Eropa. Tahun 1926, dia bermain di beberapa laga persahabatan untuk Barcelona, tapi menolak tawaran untuk bergabung dengan klub itu karena akan menyebabkan dia tidak bisa mengikuti Olimpiade Amsterdam tahun 1928. Ini terbukti keputusan yang tepat karena Scarone mencetak gol penentu dalam final dua putaran melawan Argentina untuk memastikan negaranya meraih medali emas. Dia juga mencetak gol kemenangan melawan Italia di semifinal.
Perjalanan Scarone membawanya ke Nerazzurri pada tahun 1931, ketika Ambrosiana-Inter – yang baru saya menempati posisi kelima di Serie A – merekrut Demaria dan Scarone untuk memperbesar peluang mereka merebut gelar. Inilah tim yang diperkuat oleh Meazza, Giuseppe Viani, Luigi Allemandi, dan diasuh oleh pelatih asal Hungaria, Istvan Toth-Potya.
Scarone sepertinya adalah pewaris resmi tahta Julio Bavastro, yang merupakan salah satu orang Uruguay pertama yang bermain di Italia ketika dia tiba di Milan sekitar 20 tahun sebelumnya, tapi musimnya di Inter terganggu oleh cedera. Meskipun demikian, dia mampu menampilkan kemampuan terbaiknya dengan menciptakan tujuh gol dalam 14 penampilan. Gol yang paling berkesan adalah gol yang menentukan kemenangan ketika mengalahkan Genoa 1-0, saat Scarone berlari menggiring bola hampir sepanjang lapangan dan berkelit dari semua pemain bertahan Genoa sebelum menyarangkan bola ke dalam gawang. Dia juga mencetak dua gol melawan Lazio meskipun di awal laga sempat mengalami cedera di wajah.
Namun pendukung Nerazzurri hanya sempat menikmati Scarone selama satu musim karena dia lantas dijual ke Palermo di musim panas 1932 – ini menjadi musim kedua dan terakhirnya di Italia. Tahun 1934, Scarone pulang ke Uruguay untuk membela Nacional di Estadio Gran Parque Central yang dicintainya, tribun timur yang saat ini menyandang namanya. Hampir 80 tahun kemudian, stadion ini menjadi saksi pensiunnya legenda Urugay lain yang juga pernah berseragam hitam biru Inter: Alvaro Recoba.
Roberto Brambilla