SAMIR HANDANOVIC DAN SENI MENUNGGU

MondoFutbol.com kembali untuk 2017 dengan menelusuri karier Nerazzurri No.1, yang sempat bermain beberapa musim membela lawan hari Minggu, Udinese

MILAN – Dua, tiga, empat penyelamatan vital. Fans Inter takjub saat melihat kiper baru mereka, sesosok lelaki besar dengan tinggi hampir dua meter, tampil dalam Derby della Maddonina pertamanya dengan sangat gemilang.

Ini terjadi di musim 2012/13. Samir Handanovic baru saja dibeli dari Udinese beberapa bulan sebelumnya, tapi penampilannya dalam derby itu ikut menentukan kemenangan 1-0 untuk tim barunya (kemenangan kesepuluh Inter secara beruntun di semua kompetisi, terhitung sampai saat itu).

Keluar sarang tepat waktu, penyelamatan akrobatik, tangan yang kokoh, dan – yang terpenting – ketenangan luar biasa, Handanovic seolah-olah sedang bermain sepak bola lima lawan lima di kampung halamannya di Ljubljana, bukan dalam laga terbesar musim itu bagi kota Milan. Laga ini terbukti jadi isyarat masa depan Handanovic di Inter.

Baik di dalam maupun di luar lapangan, Handanovic memahami pentingnya menunggu saat yang tepat. Dia adalah orang yang lembut, seimbang, dengan kepribadian yang terbentuk dari masa kecil yang dihabiskan di kawasan kumuh Nove Fuzine di Ljubljana, terjepit di antara daerah pemukiman abu-abu dan perbukitan hijau Ljubljana Castle.

Karier Handanovic dimulai di Slovan, di mana dia membangun hubungan erat dengan pelatih Slavisa Stojanovic. Handanovic muda mengikuti Stojanovic ke Domzale, tempat dia tampil debut di liga teratas Slovenia pada usia 19 tahun. Kiper muda ini langsung menjadi idola baru di Domzale, dan tidak lama kemudian tim pencari bakat Udinese menemukannya. Mereka mengambil keputusan dengan cepat: Handanovic baru tampil tujuh kali untuk Domzale ketika dia bergabung dengan klub Italia tersebut.

Meskipun demikian, dia tidak bertahan lama di Udinese. Keluarga Pozzo meminjamkan Handanovic ke Treviso yang baru promosi untuk musim 2005/06, dengan harapan dia bisa terus berkembang tanpa perlu jadi sorotan. Namun Treviso – yang awalnya tidak boleh bermain di kandang akibat larangan Asosiasi Sepak Bola – tidak mampu bertahan di Serie A dan Handanovic menjadi korban dengan kehilangan tempat di tim setelah kalah tiga kali berturut-turut, termasuk satu kekalahan di San Siro melawan Inter.

Handanovic hanya sebentar di Treviso, dan pemain Slovenia ini kemudian bergabung dengan Lazio untuk paruh kedua musim 2005/06, dan hanya tampil satu kali dalam laga terakhir musim itu. Saat itu adalah masa sulit bagi sang kiper, tapi dia menghabiskan waktu bermain catur dengan ayahnya.

Handanovic bergabung dengan Rimini pada musim 2006/07, dengan pantai Adriatik terbukti jadi lingkungan ideal bagi pemain Slovenia ini untuk memacu karier dan memantapkan posisinya sebagai bintang di kalangan generasi baru penjaga gawang Slovenia (yang juga terdiri atas saudara Samir, Jasmin Handanovic, dan Vic Belec, yang memenangi kejuaraan Primavera bersama Inter tahun 2007).

Kembali ke Udinese, Handanovic mengambil alih tanggung jawab kiper utama dari Morgan De Sanctis dan semakin berkembang sebagai kiper andal. Prestasi pribadi seperti rekor di Italia untuk penyelamatan penalti dalam satu musim, dengan enam di musim 2010/11, mencatatkan namanya di AIC Team of the Year, diimbangi oleh kesuksesan bersama Udinese, saat Pasquale Marino – yang sangat dipuja oleh Handanovic – membawa tim tersebut ke 16 besar Liga Europa.

Semua prestasi inilah yang berujung pada kepindahannya ke Inter pada musim panas 2012. Handanovic telah tiba di tanah impian sepak bola Eropa, La Scala del Calcio, tapi dia tidak banyak berubah sejak masa kecilnya di jalanan Ljubljana. Handanovic masih tetap pendiam dan rendah hati, meskipun dia adalah kiper andalan Nerazzurri baik di Serie A maupun Eropa.

Orang bilang kesabaran akan berbuah manis. Handanovic – sosok yang tenang dan diam di bawah mistar, dengan mata dingin menatap bola – sudah membuktikannya.

Aniello Luciano


 English version  日本語版  中文版  Versione Italiana 

Muat lebih banyak