MILAN – Penulis Argentina, Osvaldo Soriano pernah menulis bahwa “sepak bola menyimpan banyak misteri yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat”. Barangkali tidak ada lagi tempat lain yang menggambarkan misteri sepak bola daripada derby Milan – laga yang menyimpang dari segala logika dan ditentukan oleh takdir, memanipulasi pelatih dan pemain bagaikan dalang memainkan wayangnya.
Seperti itulah, tanggal 6 April 1986, nasib mendorong Mario Corso untuk mengubah kehidupan seorang pemuda 19 tahun yang lahir di Sisilia dan tumbuh sebagai pendukung Inter.
Giuseppe Minaudo belum pernah sekali pun bermain di Serie A sampai hari itu. Derby della Madonnina berlangsung di suatu hari Minggu, empat hari setelah Inter mengalahkan Real Madrid 3-1 di semifinal putaran pertama Piala UEFA.
Ketika Kal-Heinze Rummenigge cedera saat pemanasan, Mario Corso – yang bulan November sebelumnya menggantikan Ilario Castagner sebagai pelatih Nerazzurri – terpaksa melakukan pergantian dan memasukkan Luciano Marangon ke dalam susunan pemain. Tapi dia sendiri harus keluar saat turun minum akibat cedera tangan. Dengan demikian, takdir sudah melakukan dua langkah yang jelas.
Selama turun minum, saat kedudukan masih imbang tanpa gol, Minaudo tengah memainkan bola di lapangan bersama sejumlah rekan satu tim ketika dia mendapat kabar yang kelak akan mengubah kehidupannya: “Lakukan pemanasan, Corso akan memainkan kamu menggantikan Marangon.”
Corso mengenal baik pemuda itu karena sudah melatihnya selama setahun lebih ketika menangani Primavera, jabatan yang dia serahkan kepada mantan pemain Inter lainnya, Arcadio Venturi, ketika dia diminta menangani tim inti.
Dua bulan sebelum derby tersebut, tanggal 10 Februari 1986, Venturi – dengan Minaudo di tim – membawa Inter U19 menjuarai Viareggio Cup, mengalahkan tim Sampdoria yang diperkuat pemain seperti Maurizio Ganz dan Gianluca Pagliuca di babak final.
Giuseppe bisa bermain di segala posisi di lapangan tengah, dan Corso percaya padanya meskipun bertubuh kecil dan kurang pengalaman. Dia tidak terkenal karena kemampuannya di udara, tapi Corso menyuruhnya untuk maju saat bola mati dan mencoba merepotkan barisan pertahanan Rossoneri.
Tiba-tiba Minaudo dilontarkan ke laga terbesar dalam hidupnya bersama para idola yang sangat dikaguminya seperti Alessandro Altobelli, Beppe Bergomi, Riccardo Ferri, Walter Zenga, dan Giuseppe Baresi. Dia menghadapi pemain seperti Paolo Maldini, Mauro Tassotti, Franco Baresi, dan Agostino Di Bartolomei. Saat itu adalah akhir era Nils Liedholm (dia digantikan oleh Fabio Capello pada musim semi 1987) dan awal masa Silvio Berlusconi – laga itu merupakan derby pertama sejak dia jadi presiden tanggal 24 Maret 1986.
Namun ini adalah derby Minaudo.
Di menit 77 takdir membuka kartunya. Pietro Fanna melepaskan tendangan bebas melengkung dari kiri, Andrea Mandorlini melompat dan menyundul bola hingga membentur tiang. Bola jatuh tidak jauh dari garis gawang, dan Minaudo adalah pemain yang pertama menyambar bola liar tersebut dan menyarangkannya ke dalam gawang. 1-0 untuk Inter dan Meazza gegap gempita.
Tidak ada lagi gol yang tercipta: derby itu dimenangkan oleh pemuda asal Sisilia yang sudah menjadi fan Inter seumur hidupnya, pada debutnya bersama Nerazzurri.
Hari yang tidak terlupakan bagi Giuseppe belum berakhir sampai di situ. Setelah pertandingan, pahlawan derby yang pemalu itu tampil di ruang pers. Peppino Prisco mendatanginya, meminta perhatian dari para wartawan yang berkumpul dan, dengan penuh kebanggaan Nerazzurri, dia menyatakan: “Inilah pemuda dari akademi kami yang memenangkan derby ini untuk kami!”
Saat itu, prestasinya dianggap sakral oleh salah satu Interisti paling terkenal, dan takdir Minaudo pun terpenuhi. Dia telah mencatat sejarah derby. Tidak jadi masalah bila kemudian karier membawanya ke tempat lain, ke stadion yang lebih kecil jauh dari Milan dan lampu sorot yang menyinarinya di hari Minggu bulan April 1986. Golnya murni melambangkan kebanggaan Inter, dan itulah sebabnya gol itu tidak akan pernah terlupakan.
Davide Zanelli