ALEX CORDAZ DAN IMPIAN UNTUK SERIE A

Tidak banyak orang yang mengalami perjalanan menuju puncak yang bagaikan dongeng seperti mantan kiper tim muda Inter ini

MILAN – Menjaga gawang Inter di Serie A: selama bertahun-tahun, impian itu demikian dekat bagi Alex Cordaz, selalu dalam jangkauan. Akhirnya, sampailah pada satu titik saat Anda harus berhadapan dengan kenyataan, dan prosesnya bisa sangat menyakitkan.

Meskipun demikian, bagi seorang yang sudah cukup mencicipi pahitnya kehidupan, penjaga gawang Crotone ini menolak mengubur ambisinya; dia hanya perlu melakukan sedikit penyesuaian. Dia masih berniat turun di lapangan San Siro di liga teratas Italia, tapi ini hanya mungkin terjadi melawan klub yang dibelanya dengan sepenuh hati sewaktu masih jadi pemain muda di tim Primavera asuhan Corrado Verdelli.

Cordaz bergabung dengan Inter dari kota kecil Villa di Villa, bagian dari Dordignano di provinsi Treviso, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk pindah ke Milan. Tahun-tahun pertamanya di klub dipenuhi perjuangan merebut posisi penjaga gawang melawan Mathieu Moreau yang juga menjanjikan, serta rasa tanggung jawabnya sebagai bagian dari salah satu akademi sepak bola terbaik di Eropa.

Selama periode ini, dia mulai menarik perhatian karena penampilannya yang memukau bersama Inter U19, termasuk ketika dia memecahkan rekor untuk clean sheet di Viareggio Cup dan membawa timnya meraih kemenangan di final melawan Torino yang diperkuat Federico Marchetti dan Fabio Quagliarella. Konsistensinya di bawah mistar gawang memungkinkan rekan-rekannya bergerak lebih bebas, saat tim yang diperkuat ujung tombak Goran Pandev dan Obafemi Martins memenangkan turnamen Primavera musim 2001/02.

Meskipun tampil debut di semifinal Coppa Italia melawan Juventus besutan Marcello Lippi di musim 2003/04, awal yang menjanjikan ini tidak membawa akhir bahagia yang diharapkan. Setelah dipinjamkan ke berbagai klub di Serie B dan C1, dia meninggalkan Inter demi bisa bermain di liga teratas di klub lain, yang akhirnya membawanya ke tim ND Gorica di Slovenia beberapa tahun kemudian. Di luar Italia, kesempatannya untuk tampil di stadion-stadion terkenal di kampung halamannya sepertinya sudah pupus.

Dari Slovenia, Cordaz melanjutkan perjalanannya melalui klub sepak bola nun jauh di Lugano, Swiss. Ini menjadi pengalaman yang berat baginya karena upaya untuk promosi ke Liga Super berkali-kali gagal di langkah terakhir, tapi tetap ada manfaatnya. Masyarakat setempat di Canton Ticino masih ingat dengan aksen Venesianya yang kental saat dia meneriakkan instruksi dari kotak penalti serta cara modern dia membengkokkan kaki ketika menendang bola dari tangan, sebuah teknik yang saat itu belum dikenal di sepak bola Swiss.

Cordaz menjadi pemimpin di Lugano, di dalam dan di luar lapangan, dan memainkan peran yang sama di klub berikutnya, Crotone. Di sanalah, pada musim 2015/16 yang berkesan, dia mencatat 21 clean sheet (cukup baginya untuk memenangkan penghargaan Penjaga Gawang Terbaik Musim Ini di Serie B) sekaligus membawa tim Calabria tersebut promosi ke Serie A.

Dengan mengenakan kostum pink untuk menghormati idolanya, legenda balap sepeda Marco Pantani, kegembiraannya meluap karena akhirnya bisa tampil di divisi tertinggi Italia pada usia 33 tahun. Ditambah pula dengan kenyataan bahwa Crotone belum pernah lolos ke Serie A sebelumnya sepanjang sejarah mereka, dan seluruh kisah ini menjadi seperti dongeng.

Meskipun demikian, motivasi Cordaz untuk terus berjuang tidak pernah mengendur sejak dia masih di Primavera. Di liga tertinggi saat ini, dia masih terus menetapkan sasaran yang ambisius, misalnya dengan berusaha untuk mempertahankan tim kecil asal Calabria ini di Serie A.

Hari Minggu di Stadio Ezio Scida, pesepakbola yang sudah banyak makan asam garam petualangan ini akan mendapat kesempatan untuk kembali merasakan Inter, tampat cerita indahnya bermula.

Aniello Luciano


 English version  日本語版  中文版  Versione Italiana 

Muat lebih banyak